Cashback = Riba. Serius?
oleh Ahmad Sarwat Lc. MA*
Salah satu sebab keharaman e-money konon gara-gara ada cashback ini. Asumsinya, ketika kita isi ulang atau top-up, dianggap kita sedang 'meminjamkan' uang kepada pihak penerbit e-money.
Seandainya tidak pakai cash-back, tidak jadi masalah. Justru cashback inilah yang seolah-olah atau dianggap menjadi 'manfaat' (المنفعة) pada akad qardh, alias hutang piutang atau akad pinjam meminjam uang.
Padahal dalam akad pinjam uang, tidak boleh ada manfaat. Pinjam sejuta, kembali sejuta. Kalau ada tambahan maka jadi riba yang haram, berdasarkan sabda Nabi SAW :
كل قرض جر منغعة فهو ربا
Setiap qardh (pinjaman uang) yang memberikan manfaat (keuntungan), maka dia riba.
Tetapi . . .
Apakah sudah yakin bahwa istidlal macam ini sudah benar? Yakin bahwa akad isi ulang atau top-up itu semata-mata akad qardh atau meminjamkan uang? Yakin bahwa cashback ini haram karena dianggap manfaat?
Mari kita uji saja pelan-pelan dengan kepala dingin.
Pertama : Benarkah Akad Qardh?
Qardh itu meminjamkan uang. Misalnya A meminjamkan uang 1 juta ke B. Sepuluh lembar uang seratus-ribuan berpindah dari dompet milik A ke dompet milik B.
Maka dompet A kosong tidak ada uang. Berarti A tidak bisa belanja, makan atau bayar sesuatu. Karena meski punya uang, tapi tidak ada uang saat itu di dompet A. Ya kan lagi dipinjamkan ke B.
Itu namanya qardh atau meminjamkan uang.
Sekarang coba kita terapkan pada kasus isi ulang e-money alias top-up. Benarkan akadnya meminjamkan uang?
Kita isi ulang sejuta pakai cash, berarti 10 lembar uang seratusan ribu berpindah nih, dari dompet kita ke dompet penerbit emoney. Kalau benar ini peminjaman uang, seharusnya kita tidak bisa belanja, beli makan atau bayar ini itu. Kan uangnya lagi dipinjamkan.
Ternyata habis top-up, kita malah bisa belanja, bisa jajan, bisa beli makan, bisa naik ojek, bisa bayar ini dan itu. Lho kok bisa? Bukankah uangnya lagi dipinjamkan ke orang? Masak uang kita lagi dipinjamkan, kita malah bisa menggunakannya?
So, yakin bahwa isi ulang atau top-up itu sebagai akad peminjaman uang? Uang sudah dipinjamkan kok bisa dipakai? Logikanya gak masuk akal, bukan?
Kesimpulannya sederhana saja, top-up atau isi ulang ini jelas-jelas BUKAN peminjaman uang, BUKAN utang piutang dan BUKAN akad qardh.
Kalau bukan qardh, maka cash-back juga bukan termasuk manfaat yang dituduhkan sebagai riba.
Lalu kalau akadnya bukan pinjam uang dan bukan qardh, kira-kira akadnya apa ya?
Titip Uang atau Deposit?
Mungkin ada yang bilang bahwa akadnya titip uang atau deposit. Kalau bukan peminjaman uang berarti titip uang.
Ya, boleh saja diterka seperti itu. Tapi mari kita tes sekali lagi. Kalau akadnya titip uang atau deposit, seharusnya sama dengan peminjaman di atas, yaitu uang yang kita titipkan secara fisik seharusnya sudah tidak bisa lagi kita pakai.
Lha kan uangnya lagi dititipkan, masak bisa dipakai? Padahal sehabis isi ulang kita justru bisa bayar kemana-mana. Uang dititipkan kok bisa dipakai?
Jadi kurang tepat juga kalau dibilang akadnya titip uang. Karena masih bisa digunakan, padahal dititipkan.
Akad Tukar Uang
Isi ulang top up ini sebenarnya lebih tepat diposisikan sebagai akad tukar uang, alias SHARF. Uang kita yang berupa uang kertas itu, kita tukar dengan uang berbentuk data elektronik alias e-money.
Kalau kita mau pergi umrah ke Saudi, sebelum berangkat kita tukar uang di money changer. Uang rupiah ditukar jadi uang riyal. Keluar dari money changer, kita tetap pegang uang. Di money changer itu kita tidak meminjamkan uang dan juga tidak titip uang. Kita menukar uang.
Maka ketika kita isi ulang, yang kita lakukan sebenarnya bukan meminjamkan uang, tapi tukar uang. Kertas ditukar data digital.
Maka akadnya terbebas dari keharaman cashback. Tidak ada hubungannya sama sekali. Sebab ini bukan peminjaman uang, bukan akad qardh. Maka silahkan saja ambil cashbacknya.
Sesederhana itu sebenarnya. Kalau kita paham akadnya, maka kita tidak grasa-grusu main haram-haramkan segala sesuatu.
--
* Penulis adalah Direktur Rumah Fiqih Indonesia
0 Komentar